Seru-seruan jelajahi Malang dengan berjalan kaki
Petirtaan Watu Gedhe |
[Menepuk punggung petilasan tiga kali]
Rahayu
Rahayu
Rahayu
Bismillahirrahmanirahim. Gusti Allah, Ibu Bumi, Bapa
Kuasa, cikal bakal Malang, sila berkumpul di pertapaan. Datang serta Gusti Ibu
Dedes, Ndoro Prabu Jayabaya, Prabu Hayam Wuruk, Mbah Tido Mulyo, Eyang Patih
Mada berkumpul di pertapaan. Naga-naganya Putri dan teman-temannya salah
berucap dan bertingkah, mohon dimaafkan. Kiblat papat limo sing tak tetepi.
Ngunukui sing adoh parane tak awis tak ceketi, dulurku sing ceket karo rogo
kasarku tak ceketi. Sing loro ndang oleh tombo sing susah ndang oleh
kanunggrah. Adem ayem tentrem sumonggo sami-sami ngelampahi kewajibane
kiyambak-kiyambak.
Tersebutlah perjanjian lama antara manusia dan alam
semesta. Nuswantara, Ibu Bumi membubuhkan pada denyut tanah yang dikelilingi
kawah api berkobar bergejolak, pada amuk bahari yang bergolak, pada angin yang
menumbangkan pohon waringin. Gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto
raharjo, berlutut manusia meminta kesediaan alam untuk menerima mereka. Di
atas lontar sebuah kaum menorehkan Nuswantara, nu adalah kehidupan, swan
berarti perjanjian, dan tara menaungi kekuatan besar.
Ibu Bumi mengajukan syarat lestari, berujar pekerti:
“Mletik Tanpo Sutang.
Mabur Tanpo Lar.
Nek wong salah bakal seleh.
Wong angkoro murko bakal ciloko.
Tak paringi seger waras ayem tentrem.
Tak bantu koyo banyu kali, mili koyok banyu kendi.
Syarat lestari adalah sedekah bumi dan iling marang Gusti.
Tumapel, tempat perjanjian itu menjadi. Beratus-ratus tahun kemudian seorang gadis bernama Dedes disucikan di Petirtaan Watu Gede. Darinya suatu saat nanti lahir raja dan ratu agung di Jawa. Darinya panji-panji Singasari berkibar melintang jadi cikal bakal Majapahit. Sebelum tutup usia Singasari, pendharmaan Sri Kertanegara didirikan (Candi Cungkup), namun belum pula tuntas karena serangan Kediri dalam misi pelampiasan dendam oleh Jayakatwang.
Candi Cungkup / Candi Singosari |
Raja muda tak berumur panjang, tewas di negerinya sendiri, meninggalkan empat putri yang suatu saat nanti menjadi istri Raden Wijaya (Raja Pertama Kerajaan Majapahit). Di malam padang bulan, tari bedhaya diiringi lantunan gamelan, pada suatu malam sebelum Singasari padam, keempat putri Kertanegara mengunjungi Petirtaan Sumberawan tempat Ken Dedes moksa. Pagi hari, hingga hari-hari kemudian adalah malam-malam terpanjang bagi Singasari untuk bertahan, empat sekar kedaton Singasari dalam pelarian dikejar tentara Jayakatwang.
Malang kemudian tempat perjanjian lama terjadi,
Kertanegara sudah lama mati. Gayatri putrinya bersama menantunya Raden Wijaya
dikaruniai Tribuana Tungga Dewi, menjadi ratu yang menyaksikan Sumpah Palapa di
kerajaan baru yang tak jauh dari cikal bakal mereka.
Malang betul nasib Malang. Perjanjian lama perlahan menjadi artefak di sebuah lontar yang entah di mana ia berada. Lupa. Manusia telah lupa cikal bakal mereka. Tumapel tak goyah saat gemunung muntah, tak tenggelam diamuk lautan. Sekarang ia telah menjadi Malang, banjir setiap musim hujan, kering dalam kemarau berkepanjangan. Mungkinkah ini adalah karma karena membuat usang perjanjian lama?
Tentang Tulisan:
Tulisan ini adalah fiksi yang terinspirasi dari kegiatan
yang diadakan Jelajah Malang tanggal 23 Juli 2023 “Tour Kerajaan Singasari”
mengunjungi Petirtaan Watu Gede, Candi Cungkup, Dua Arca Dwarapala, Stupa
Sumberawan, dan Museum Singasari. Kegiatan ini dipandu oleh Mas Dito dan
didukung oleh beberapa pihak lainnya seperti Sangkelana.id dan Klodjen Djaja.
Tentang Penulis:
Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif di salah
satu perusahaan pemasaran digital di Malang. Salah satu risetnya Identitas Politik
Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of
Singapore. Cerpen dan resensi bukunya pernah terbit di The Jakarta Post, Indian
Periodical, SuaraNet.id dan Djavatimes.
Jln. Cokroaminoto II/74, Malang, Jawa Timur
Email: jelajahmalangaja@gmail.com
WhatsApp/Telpon: 0823 3528 8384
Tidak ada komentar: